Senggarang adalah sebuah kawasan pemukiman penduduk di Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Kepri). Terletak di utara Teluk Riau, Senggarang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kota Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepri. Kawasan ini terkenal sebagai kawasan pecinan-nya Tanjung Pinang karena diyakini sebagai tempat pertama yang disingahi dan didiami oleh para imigran dari Cina sebelum mereka menyebar ke pulau-pulau lainnya di Kepri. Masyarakat setempat menyebut tempat ini dengan nama Tua Po (yang artinya Kota Besar - dalam bahasa Teo Chew).
Mayoritas penduduk Senggarang (98%) beretnis Tionghua (sekitar 250 keluarga). Bahasa komunikasi utama antar warga adalah bahasa Teo Chew. Bahasa Indonesia dan Mandarin menjadi bahasa pengantar lainnya yang mereka pahami dan hanya digunakan untuk berbicara kepada pendatang / tamu yang mengunjungi Senggarang.
Rumah-rumah masyarakat didirikan dengan model rumah panggung di atas air laut. Rumah-rumah yang dibangun puluhan tahun yang lalu dengan fondasi dan dinding kayu masih tampak kokoh berdiri walaupun sudah banyak rumah yang direnovasi dengan menggunakan cor beton. Bila air laut pasang (naik), jarak antara lantai rumah dengan air laut sangat dekat sekali. Sebaliknya bila air laut surut (turun), tampak sekali tiang-tiang yang menopang rumah mereka.
Rumah-rumah masyarakat didirikan dengan model rumah panggung di atas air laut. Rumah-rumah yang dibangun puluhan tahun yang lalu dengan fondasi dan dinding kayu masih tampak kokoh berdiri walaupun sudah banyak rumah yang direnovasi dengan menggunakan cor beton. Bila air laut pasang (naik), jarak antara lantai rumah dengan air laut sangat dekat sekali. Sebaliknya bila air laut surut (turun), tampak sekali tiang-tiang yang menopang rumah mereka.
Rumah salah satu penduduk yang terbuat dari kayu |
Rumah salah satu penduduk yang sudah dibangun dengan beton |
Jalan yang menghubungkan antar rumah disebut pelantar. Lebar pelantar sekitar 1.5 sampai 2.5 meter dengan panjang bervariasi tapi umumnya adalah jalan buntu. Pelantar inilah yang menjadi akses mobilitas masyarakat setempat. Masyarakat biasanya berjalan kaki / bersepeda dari satu tempat ke tempat lainnya di Senggarang. Sangat jarang Anda menemukan orang mengendarai sepeda motor / mobil walaupun ada beberapa keluarga yang tinggal di daerah perbukitan di sekitar Senggarang mengendarai kendaraan bermotor mereka untuk menuju ke Senggarang.
Budaya dan adat istiadat Tionghua masih sangat kental dipraktekkan di tempat ini. Pada berbagai perayaan menurut penanggalan Imlek, di rumah maupun sepanjang jalan di tempat ini akan dihiasi dengan berbagai ornamen khas Cina.
Mayoritas penduduk menjalankan tradisi menurut kepercayaan Konghuchu walaupun ada pula beberapa keluarga yang mempraktekkan ajaran agama Budha, Kristen dan Islam. Setidaknya ada 7 kelenteng dan 2 vihara didirikan di tempat ini sebagai tempat beribadat bagi umat Konghuchu dan Budha sedangkan hanya ada masing-masing satu gereja dan mesjid berdiri di tempat ini. Tapi, toleransi antar umat beragama dapat dirasakan dari kehidupan masyarakat di Senggarang.
Mayoritas penduduk menjalankan tradisi menurut kepercayaan Konghuchu walaupun ada pula beberapa keluarga yang mempraktekkan ajaran agama Budha, Kristen dan Islam. Setidaknya ada 7 kelenteng dan 2 vihara didirikan di tempat ini sebagai tempat beribadat bagi umat Konghuchu dan Budha sedangkan hanya ada masing-masing satu gereja dan mesjid berdiri di tempat ini. Tapi, toleransi antar umat beragama dapat dirasakan dari kehidupan masyarakat di Senggarang.
Rasa solidaritas dan kekeluargaan di antara masyarakatpun masih sangat kental dipraktekkan. Bagaikan peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, warga di sini biasanya selalu berbagi baik dalam suasana suka maupun duka. Jika ada keluarga yang bersuka, warga sekampung akan datang merayakan rasa sukacita itu. Jika ada keluarga yang tertimpa kemalangan, wargapun akan datang menghibur dan memberikan uluran tangan.
Selain itu, ke-Bhineka Tunggal Ika-an pun sangat dirasakan di komunitas ini. Warga dari latar belakang suku ataupun agama apapun bercampur baur tanpa mendiskriminasikan kaum tertentu. Segala macam perbedaan yang ada justru saling mengisi dan menguatkan sebuah ikatan akan persatuan. Anak-anak kaum Tionghua bermain bola, karet, petak umpet bahkan berenang di tepi laut dengan anak-anak dari kaum Melayu / Bugis. Begitu pula dengan ibu-ibu dan bapak-bapaknya.
Mata pencaharian penduduk di sini cukup beraneka ragam. Banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya dengan laut misalnya menjadi nelayan, penarik boat bahkan bekerja di kapal-kapal barang / pesiar. Selain itu, ada pula yang berdagang baik di Senggarang maupun Tanjung Pinang. Ibu-ibu rumah tangga tidak hanya sibuk menjaga anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Beberapa dari mereka menjual makanan, membuka kedai kelontong bahkan menjadi pengusaha industri rumah tangga (kerupuk udang, otak-otak, bawang goreng).
Masuknya komunitas Tionghua ke Senggarang
Etnis ini berkembang pada masa pemerintahan Daeng Celak sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II (1728 – 1745). Pada masa bangsawan Bugis asal Luwu ini, kawasan Senggarang digalakkan sebagai tempat pengembangan tanaman gambir untuk komoditi ekspor.
Pada masa itu, Etnis Tionghua banyak dipekerjakan karena mereka lebih berpengalaman dibanding dengan etnis lainnya di Tanjung Pinang. Daeng Celak memberikan kesempatan kepada para pekerja dari Cina itu untuk menempati kawasan Senggarang sebagai tempat pemukiman mereka.
Kawasan Senggarang dikembangkan secara nyata baru pada masa Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III. Kemudian pada masa Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, etnis Tionghua banyak diperkerjakan sebagai pembuat peluru/proyektil logam, dan mesiu untuk penguasa setempat. Setelah itu, kawasan ini semakin berkembang menjadi kawasan pemukiman.
Makanan khas Senggarang
Karena letaknya di tepi laut, Senggarang tentunya terkenal dengan hasil lautnya. Kerang gong-gong menjadi khas Senggarang dan Tanjung Pinang. Kerang dengan cangkang berwarna putih kekuningan ini memiliki citarasa tersendiri dan cara penyajiannyapun cukup sederhana. Hanya cukup direbus dengan air hingga matang dan disajikan dengan sambal belacan. Selain itu, gong-gong juga bisa diolah dengan bahan makanan lainnya seperti telur, nasi, mie sesuai selera Anda.
Courtesy: www.us.detik.com Gonggong khas Senggarang / Tanjung Pinang |
Biasanya para turis akan dibawa ke satu-satunya restoran di sini: Restoran Lumba Lumba (masyarakat setempat menyebutnya: Ah Keng - nama sang pemilik). Restoran ini menyajikan berbagai masakan hasil laut yang diracik dengan rasa dan bumbu khas Senggarang. Saat Anda menikmati makanan, Anda juga bisa menikmati desiran ombak laut dan pemandangan Teluk Riau.
Jangan lupa membawa pulang oleh-oleh dari Senggarang. Nikmatnya “ceker ayam” khas Senggarangpun selalu akan terngiang jika Anda sudah pernah mencobanya. Jangan bayangkan kaki ayam yang dimasak dengan ramuan tertentu. Namanya saja yang ceker ayam, tapi makanan ringan ini berbentuk seperti jala ukuran bola dan terbuat dari tepung dan gula yang digoreng.
Kerupuk udang maupun ikan menjadi oleh-oleh yang tidak boleh dilupakan ketika berkunjung ke sini. Dibuat secara tradisional, kerupuk ini diolah dari udang / ikan yang segar, hasil tangkapan nelayan lokal dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari.
Masih ada satu lagi: otak-otak Tanjung Pinang yang harus Anda bawa pulang ketika meninggalkan tempat ini karena Anda sepertinya belum singgah ke Kota Gurindam jika Anda belum mencicipi otak-otak dan membawanya sebagai buah tangan.
Cuaca di Senggarang
Sama dengan wilayah Indonesia lainnya yang memiliki iklim tropis, temperatur rata-rata di Senggarang berkisar antara 210-320C dengan rata-rata 260 C. Matahari selalu bersinar dengan terik sepanjang tahun walaupun bulan Oktober sampai November setiap tahunnya, ketika angin monsoon utara bertiup, cuaca dapat tiba-tiba berubah ekstrim dengan adanya angin badai dan hujan lebat yang turun.
Wisata ke Senggarang
Senggarang bukan saja dikenal sebagai kawasan pemukiman penduduk di Tanjung Pinang. Senggarang juga menawarkan objek wisata yang sangat sayang kalau ditinggalkan jika Anda sudah datang ke Kota Gurindam – Tanjung Pinang.
Yang menjadi kekhasan wisata ke Senggarang adalah mengunjungi beberapa vihara / kelenteng yang sudah berusia ratusan tahun dan memiliki nilai sejarah tinggi. Selain itu, rumah-rumah panggung warga setempat bisa menjadi photo spot yang unik buat Anda terbiasa tinggal di daratan.
Vihara Dharma Sanana
Disebut Lo Yao Keng oleh warga setempat, kompleks vihara ini konon sudah berdiri sejak 200-300 tahun yang lalu. Setelah direnovasi pada tahun 1988, vihara ini tampak berdiri dengan megahnya di tepi pantai kawasan Lampu Merah di Senggarang. Kompleks vihara ini memiliki empat bangunan utama, tiga di antaranya merupakan kelenteng yang dibangun pada masa abad ke 18 Masehi - berada pada bagian depan kompleks menghadap ke laut - untuk menyembah dewa darat dan laut. Bangunan yang ke empat berada di bagian belakang klenteng pada tanah lebih tinggi, dibangun pada beberapa tahun terakhir ini, untuk penyembahan Sang Budha Amitahba.
Setiap tahunnya, vihara ini ramai dikunjungi pada saat Tahun Baru Imlek Cina dan hari besar keagamaan lainnya. Umat melakukan sembayang untuk menghormati roh dan leluhur mereka yang sudah mati. Vihara ini juga banyak menarik wisatawan terutama dari Singapura dan Malaysia yang sering bersembahyang ke tempat ini.
Klenteng Tien Shang Miao
Kelenteng ini dibangun oleh Kapten Cina Chiao Ch’en tahun 1811 sebagai tempat tinggalnya, setelah lama tidak dihuni, barulah masyarakat Senggarang menjadikannya sebagai tempat peribadatan. Kondisi klenteng ini sudah dililit oleh akar pohon kayu ara atau beringin. Bangunan yang tampak sekarang adalah bangunan baru. Sedangkan bangunan lama yang masih tersisa adalah sebagian tembok sisi selatan (bagian depan) dan sisi timur (dinding samping).
Perjalanan Menuju Senggarang
Pintu masuk ke Senggarang adalah melalui Tanjung Pinang. Untuk menuju Tanjung Pinang, Pelabuhan Sri Bintan Pura (terletak di pusat kota) menjadi pusat transit utama ferry dari Batam maupun berbagai pelabuhan lainnya di Kepri, provinsi Riau bahkan Jakarta. Pelabuhan ini juga menghubungkan Tanjung Pinang dengan Situlang Laut – Johor, Malaysia dan Tanah Merah, Singapura.
Courtesy: www.visqueraient.tripod.com Pelabuhan Sri Bintan Pura - pintu utama menuju Tanjung Pinang |
Melalui jalur udara, Tanjung Pinang baru saja dilayani oleh 3 penerbangan harian dari dan ke Jakarta melalui Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah (kode IATA: TNJ). Selain itu, ada beberapa penerbangan lainnya ke kota-kota kecil di Kepri dan Pekan Baru, Riau. Bandara ini terletak sekitar 12 km dari pusat kota.
Courtesy: www.flickr.com Bandara di Tanjung Pinang |
Kalau ada banyak jalan menuju Roma, perjalanan ke Senggarang dari Tanjung Pinang hanya bisa ditempuh dengan dua cara: laut / darat.Masyarakat setempat lebih memilih untuk menyeberangi Teluk Riau dengan menaiki boat berukuran kecil (pompong)yang bisa menampung sekitar 10-12 orang dewasa. Perjalanan dari Dermaga Pelantar 1 Tanjung Pinang hanya mengambil waktu 5-7 menit. Anda bisa langsung sampai di Dermaga Senggarang dengan hanya membayar Rp. 5.000,- per orang untuk sekali jalan kepada penarik pompong.
Pompong - alat transportasi andalan masyarakat untuk menyeberang dari Tanjung Pinang ke Senggarang dan sebaliknya |
Perjalanan dengan darat dapat ditempuh dengan menyusuri jalan provinsi yang menghubungkan Tanjung Pinang dengan kota lainnya di pulau Bintan. Dari pusat kota, Anda memerlukan waktu sekitar 40-50 menit untuk menyusuri daerah perbukitan di pantai barat pulau Bintan. Tentunya perjalanan ini bukan hanya memakan lebih banyak waktu tapi juga lebih besar biaya yang dikeluarkan karena Anda perlu menyewa kendaraan bermotor sendiri. Belum ada transportasi umum yang melayani rute ini.
have a good story and the history , i like it
ReplyDelete